Persahabatan adalah suatu jalinan yang
indah yang mengikat dua hati manusia ataupun lebih. Kepercayaan yang membangun
jalinan itu semakin kuat. Persahabatan dapat di analogikan sebagai sebuah tunas
pohon. Ketika tunas tersebut disiram, dipupuk dan dirawat sebaik mungkin maka
tunas tersebut akan menjadi sebuah pohon yang memiliki akar kuat dan struktur
batang yang kekar dan tidak akan roboh ataupun tumbang ketika diterpa badai
ataupun angin ribut.
Begitulah persahabatan aku dan Diana
terjalin. Aku tak mengenalnya sejak kecil seperti kisah persahabatan yang sudah
ada. Aku baru mengenalnya saat duduk dibangku kelas dua Sekolah Menengah Atas.
Kebetulan kami sekelas saat itu. Aku tak baru mengenal Diana. Aku kenal dia
sejak duduk di bangku kelas satu. Kebetulan ia satu kelas dengan teman
seangkutanku, Firman. Ya, hanya sekedar tahu saja aku padanya saat itu.
Kenaikan kelas sudah tiba, dan kini
aku menjadi siswi kelas Sebelas Sekolah Menengah Atas swasta didaerahku. Aku masuk agak telat sejak dimulainya Kegiatan
Belajar Mengajar di sekolah. Akibat rutinitas dan kesibukan yang begitu padat
setelah penerimaan rapot semester genap, aku dirawat selama satu minggu dalam
ruangan ICU di Rumah Sakit lantaran terkena gejala Tifus dan asam lambungku
yang meningkat hingga menyebabkan pembengkakan pada lambungku. Jelas, aku
tertinggal seminggu sejak awal KBM berlangsung. Hari pertama aku sekolah
setelah keluar dari Rumah Sakit, aku di antar Ayahku ke sekolah. Saat itu,
ketika aku turun dari mobil Ayah, aku berusaha mencari teman sekelasku yang
mungkin aku kenal. Saat itulah Diana lewat pas ketika aku mulai turun. Aku
memanggilnya dengan sedikit keraguan. Terang saja, aku belum pernah berbincang
dengannya sebelum ini.
“Diana !”
“ya?”, ia
menengok saat mulai memasukki gerbang sekolah.
“boleh
bareng kekelas?”
“iyaa
boleh “, ia menerimaku dengan senyumnya yang murah untukku. Tanpa ragu, ia
menggandeng tanganku dan mengawalku yang saat itu berjalan teronggoh-onggoh
menuju kelas.
“tolong
dibantu ya Nanda”, ucap Ayahku padanya.
“iya ,
Om”
“hati-hati,
Ayah tinggal ya?”
“iya,
dadaaah “
Aku
mulai memasukki kelasku yang teramat sangat asing bagiku saat itu. Namun, Diana
yang mengajakku bicara pertama kali saat itu. Ada beberapa orang yang aku kenal
dikelas ini, namun tak semuanya. Hanya beberapa teman sekalasku di kelas
sepuluh lalu, ataupun teman satu studentdayku.
“kamu
sakit apa sampe-sampe baru masuk sekarang?”
“gejala
Tifus, hihi. Eh, maaf ya Di, tadi aku sok kenal gitu sama kamu, abisnya aku
bingung tadi keluar mobil gag ada temen”
“tifus?
Wah? Kecapean ya? Kok bisa? Lha? Santai aja.. eh? Aku panggil kamu apa?”
“Nanda,
hehe. Iyaa, jadi panitia MOPD kemarin cukup bikin ngedrop badanku”
“oh kamu
panitia toh? Hehe. Eh, kamukan temennya firman kan ya? Yang suka bareng sama
Firman kalo pulang?”
“iyaa,
hehe. Aku kenal kamu juga dari Firman sama temen-temen Musikal yang satu kelas
denganmu dulu”
“oalah,
hihi. Pantesan aku kayak kenal pas tadi aku ngeliat kamu. Eh, kamu sama Firman?
Pacaran? Hehe”
“lho?
Engga, aku sama dia temen pulang aja, temen seangkot, soalnya rumah aku sama
dia deket Di “
“oh?
Hihi”
“kok?
Kamu bisa mikir gituh?”
“engga,
abisnya kamu sama dia deket banget kalo lagi jalan berdua, hehe. Lagian juga
banyak yang gosipin kamu kali”
“lho?
Masa? Aku aja gag tau kabarnya, hehe. Oh, ya nanti kalo aku ada yang belum
paham aku tanya kamu boleh ya? Nyatet materi yang ketinggalan kemarin, boleh
ya? Hehe”
“iyaa,
santai aja. Lagian juga akunya gag terlalu paham, nanti kamu juga tanya yang
lain juga yah, takutnya nanti kamu kebawa sesat”
“oceeeeh”
Ya, dari perbincangan saat itu aku
mulai dekat dengan Diana. Kami selalu bersama-sama kemanapun. Absenku dan dia
juga atas bawah. Diana Ratnasari dan aku, Dina Putri Ananda. Kami mulai sering
cerita, belajar, dan melakukan apapun bersama-sama. Dari kedekatan kami berdua
yang membawa aura postif diantara kami berdua, seorang laki-laki teman
sekelasku juga ikut bersama dengan kami. Riko namanya. Ia teman sekelas Diana
saat di kelas sepuluh lalu. Ia terkenal menakutkan di kelas. Bukan karna
tampangnya yang menyeramkan, tapi karna omongan-omongan pedasnya yang tidak
pilah pilih mencari korban. Awal-awal aku mengenalnya, tak dapat aku pungkiri
rasa kesal dan seram juga sempat menaungiku saat pertama-tama awal aku
mengenalnya. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai mengenalnya dengan
sangat baik. Kami bertiga jadi sering belajar bareng, mengerjakan tugas
bersama, dan yang lainnya. Setahun bersama di kelas, membuatku semakin mengenal
kedua orang yang berteman baik denganku saat itu. Dan, saat kenaikan kelas
duabelas kami satu kelas lagi. Kedekatan kami semakin bertambah akrab. Setelah
penerimaan rapot kelas sebelas, kami bertiga jalan-jalan ke daerah Bandung.
Pengalaman luar biasa yang pernah aku punya.
Penerimaan rapor sudah, jalan-jalan
sudah. Ya, kini kami bertiga resmi menjadi siswa kelas duabelas. Bukan waktu
bermain-main lagi tentunya. Kami dituntut untuk serius. Ya, ini waktu setahun
terakhir dengan seragam putih abu-abu. Masa depan siap untuk dijemput sesuai
dengan usaha dan ikhtiar masing-masing dari kami disini. Tentu saja tidak lepas
dari kuasa Sang Maha Penguasa, Allah SWT.
Awal-awal duduk sebagai siswa kelas
dua belas Sekolah Menengah Atas, beban memang ada, tuntutan, dan bayangan UN
dan SNMPTN tak bisa dipungkiri menjadi angan masa depan yang tak bisa kami
hilangkan begitu saja. Namun, itu hanya ketakutan sementara yang justru
menghambat impian yang sudah kami genggam di tangan kami masing-masing. Hingga
pada akhirnya, kami menikmati waktu kami sebagai predikat senior tertinggi di
masa putih abu-abu. UN, SNMPTN kami yakini sebagai impian yang akan kami capai.
Semester ganjil dikelas dua belas terlewati dengan baik oleh kami, para kelas
dua belas seabagai aktor dan tokoh utama yang manjalaninya selama kurun waktu
enam bulan. Libur semester ganjil dibarengi dengan libur akhir tahun. Perayaan
tahun baru kali ini, kelasku mengadakan acara dirumah salah satu teman kami,
Atika. Sebenarnya ini sekaligus menjadi acara syukuran karena ia berhasil
diterima di Institut Tekhnolgi Telkom sesuai dengan apa yang ia cita-citakan.
Hari itu tanggal 31 Desember 2010. Aku
memang berencana menghadiri acara Atika dirumahnya bersama anggota kelas.
Namun, izin Ayahku tersayang menghalangi rencanaku. Karena acaranya malam, Ayah
mengkhawatirkan aku sebagai anak perempuan sulungnya. Sampai akhirnya Riko
menelfonku diantara dilemaku pagi itu.
“assalamualaykum?
Kenapa ko? “
“waalaykumsalam,
hehe gagpapa.”
“jaileh,
tumbenan amat nelepon? Kenapa sih?”
“kenapa
ya? Kasih tau gag ya? “
“dih?
Penting juga. “
“hehe,
yaaah yaaah pundung deh pundung”
“he?
Siapa yang pundung woooo. Kooo aku dilema nihhh, hiks”
“dilema
ngape neng? Nanti ikut ke acara dirumah Atika kan?”
“naaaaah,
itu diaaa yang membuat dilema”
“kenapa?”
“Ayah,
tak membiarkanku pergi untuk acara malem-malem”
“jiaaahh,
terus?”
“yaaa,
gag tau deh”
“padahal
acarnya rame kan? Eh, lagian anak-anak juga maunya kan gag tengah malem neng,
mulai bakaran magrib ya isya pulanglah”
“iyaaa?
Beneran?”
“kayaknya.
Jadi? Jadi dateng nih?”
“um, aku
konfirmasi ke ayah dulu deh”
“aku
bareng kamu yaaa”
“lha?
Gimana ceritanya Ko? Rumah kamu dimana aku dimana.”
“aku
jemput”
“lha? Mau
jemput?”
“iyaaa,
biar Ayah kamu juga tenang ngelepas kamunya”
“beneran?”
“yaelah,
masa iya saya bercandaaaa”
“yaudah,
jam berapa?”
“abis
ashar aja aku jemput”
“okeee”
“sip deh,
hehe”
“eh, tapi
gagpapa nih? Kalo engga aku bawa motor aja deh. Kalo gag bareng Firman atau
Andi”
“santai
aja neng, sekalian jalan jalan “
“yowes”
“oke deh,
nanti aku kabari lagi yaa”
“sip”
“ketemu
nanti yaa, wassalamualaykum”
“okeh,
waalaykumsalam”
Akhirnya Ayah mengijinkanku pergi
setelah aku bilang acaranya tidak sampai tengah malam seperti perayaan tahun
baru biasanya dan Riko jadi menjemputku. Ayah mempercayaiku pergi juga setelah
aku bilang aku pergi dengan Riko dan memberitahunya jika Riko akan menjemput.
Ayah mengenal baik Riko karena ia sering kerumah bersama Diana untuk belajar
dan mengerjakan tugas bersama.
Akupun berangkat tak lama setelah
sepeda motor Riko sampai didepan rumahku. Aneh rasanya ketika aku duduk
berboncengan dengan Riko saat itu. Sampai akhirnya Riko memulai perbincangan
diantara kami diatas sepeda motornya.
“Din?”,
suaranya terdengar berhambur diiring angin kencang yang menerpa.
“hem?”
“dieem
ajaa, grogi ya tak bonceng?”
“yeee?
Apa-apaan ituu”
“heheheee.
Lagian diem ajaaa”
“bingung
ngomong apaaa, hehe. by the way¸tumben
amat koo mau jemput. Ada apa gerangan?”
“nanya
lagi, kan tadi ditelpon udah aku jelasin panjang lebar”
“iya ya?
Oh? Yaudah deh”
“Din?”
“hem?”
“udah
kelas tiga nih, bantuin yaak”
“bantuin
apaa?”
“iyaaaa,
saya salah gaul deh ini kayaknya. Baru pengen main-main sekarang nih”
“yaaaa,
telat amat Ko! Main boleh buat penyeling biar gag jenuh sama pelajaran yang
masuk, tapi jangan kebablasan juga ya”
“naaah
ituh diaaaaa, bantuin yaaa”
“bantuin
apaan?”
“yaaa
bantuin biar aku gag kebablasan”
“yaa,
itumah dari kamunya juga Ko. Tapi, sebagai teman yang baik aku siap membantu!
Assik”
“assik
deh, oke thanks Din”
Begitulah pembicaraan kami di atas
sepeda motor. Tak lama Riko mengajakku untuk berjalan-jalan dahulu sebelum
sampai dirumah Atika. Aku mengiyakan ajakannya. Lagipula acara Atika masih
sekitar tiga jamman lagi. Riko mengajakku ke daerah Bogor untuk berkeliling dan
singgah ditepi danau untuk sekedar mengobrol. Perbincangan kami begitu panjang
dan berlanjut sampai perjalanan kembali menuju rumah Atika. Riko begitu hangat
saat itu. Aku seperti melihat sisi lain dari Riko. Sisi positif Riko.
Acara Atika berlangsung meriah dan
ramai. Diawali dengan solat magrib berjamaah, kami melanjutkan acara kumpul
bersama itu dengan bakar jagung dan ayam. Beberapa teman bertanya padaku
bagaimana bisa aku berangkat bersama dengan Riko. Aku menjawab simpel dan
seperti tak ada apapun diantara kami berdua layaknya yang dicurigai
teman-temanku saat menanyakan hal tersebut. Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB.
Aku tak sadar sebelum Riko mengingatkanku untuk pulang. Acara berkumpul bersama
teman-teman membuatku lupa jam.
“mau
pulang gag Din?”
“jam
berapa? Waaaah setengah sembilan, ayoo deh. Eh? Kamu mau nganter lagi Ko?
Rumahmu jauh lhoo. Aku bareng Andi aja yaaa. Andii aku bareng kamu bisa?”
“yaaah
aku bareng Sylvia Din, maaf yaa”
“yaa,
yaudah, aku naik angkot aja deh Ko”
“yeee,
udah bareng aku aja. Ayahmu kan taunya kamu pergi bareng aku Din”
“nanti
kamunya kejauhan Ko, gagpapa kok nanti aku jelasin sama Ayah”
“engga!
Kamu pulang sama aku!”
“ha? Ya
yaudah deh”
Setelah perdebatan panjang itu
akhirnya aku mengiyakan ajakkan Riko untuk yang kedua kalinya. Riko mengantarku
pulang tepat didepan rumahku. Riko tak langsung beranjak menggas sepeda
motornya begitu sampai rumahku, kami berdua ngobrol sbentar di teras rumah
sembari menikmati secangkir teh dan beberapa kletikan bersama. Setelah
rampung pembicaraan kami, Riko pamit untuk pulang. Selang tiga puluh menit dari
Riko pamit pulang, aku menelfonnya memastikannya sudah dirumah atau belum.
“ya?
Assalamualaykum? Kenapa Din?”
“waalaykumsalam,
Ko? Udah sampe belum?”
“udah
nih, lagi rebahan abis cuci muka”
“waaah,
yaudah”
“udah?
Nelpon nanya gitu doang?”
“lha?
Emang harus gimana?”
“ya
enggaa, hehe. kalo kayak gitu mah sms aja bisa”
“hehe,
lama kalo sms”
“Din?”
“apa?”
“makasih
hari ini yaaa”
“lha?
Kenapa makasih? Baru ya? Jalan berdua sama orang penting kayak aku?”
“yaaaaa,
gagjadi”
“yaaa,
hihi. Iya sama-sama. Yaudah gitu aja, istirahat sanaaa. Daaah, assalamualaykum”
“waalaykumsalam”
Aku bergegas tidur tak lama setelah
aku mengakhiri perbincangan di telfon dengan Riko.
Setelah kejadian itu, aku dan Riko
semakin akrab. Aku mulai mengenal semakin dalam sosok Riko. Dua minggu berlalu
setelah pergantian tahun baru. Riko semakin hangat. Kepribadiannya didepanku
berbeda. Sikapnya seakan berubah. Atau hanya aku yang merasakan?
Riko mulai sering sms, telfon, atau
sekedar mengajak ngobrol. Aku mulai tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi
pada sosok Riko. Dibalik itu aku merasakan kenyamanan yang luar biasa dari
sebelumnya ketika berada didekat Riko.
Lalu
kenapa tiap malam aku terjaga? Kenapa tiap pagi aku ingin cepat cepat bertatap?
Aku rasa, mulai ada yang salah padaku kali ini.