Friday, October 5, 2012

ternyata dia? I



          Persahabatan adalah suatu jalinan yang indah yang mengikat dua hati manusia ataupun lebih. Kepercayaan yang membangun jalinan itu semakin kuat. Persahabatan dapat di analogikan sebagai sebuah tunas pohon. Ketika tunas tersebut disiram, dipupuk dan dirawat sebaik mungkin maka tunas tersebut akan menjadi sebuah pohon yang memiliki akar kuat dan struktur batang yang kekar dan tidak akan roboh ataupun tumbang ketika diterpa badai ataupun angin ribut.
          Begitulah persahabatan aku dan Diana terjalin. Aku tak mengenalnya sejak kecil seperti kisah persahabatan yang sudah ada. Aku baru mengenalnya saat duduk dibangku kelas dua Sekolah Menengah Atas. Kebetulan kami sekelas saat itu. Aku tak baru mengenal Diana. Aku kenal dia sejak duduk di bangku kelas satu. Kebetulan ia satu kelas dengan teman seangkutanku, Firman. Ya, hanya sekedar tahu saja aku padanya saat itu.
          Kenaikan kelas sudah tiba, dan kini aku menjadi siswi kelas Sebelas Sekolah Menengah Atas swasta didaerahku.  Aku masuk agak telat sejak dimulainya Kegiatan Belajar Mengajar di sekolah. Akibat rutinitas dan kesibukan yang begitu padat setelah penerimaan rapot semester genap, aku dirawat selama satu minggu dalam ruangan ICU di Rumah Sakit lantaran terkena gejala Tifus dan asam lambungku yang meningkat hingga menyebabkan pembengkakan pada lambungku. Jelas, aku tertinggal seminggu sejak awal KBM berlangsung. Hari pertama aku sekolah setelah keluar dari Rumah Sakit, aku di antar Ayahku ke sekolah. Saat itu, ketika aku turun dari mobil Ayah, aku berusaha mencari teman sekelasku yang mungkin aku kenal. Saat itulah Diana lewat pas ketika aku mulai turun. Aku memanggilnya dengan sedikit keraguan. Terang saja, aku belum pernah berbincang dengannya sebelum ini.
“Diana !”
“ya?”, ia menengok saat mulai memasukki gerbang sekolah.
“boleh bareng kekelas?”
“iyaa boleh “, ia menerimaku dengan senyumnya yang murah untukku. Tanpa ragu, ia menggandeng tanganku dan mengawalku yang saat itu berjalan teronggoh-onggoh menuju kelas.
“tolong dibantu ya Nanda”, ucap Ayahku padanya.
“iya , Om”
“hati-hati, Ayah tinggal ya?”
“iya, dadaaah “
Aku mulai memasukki kelasku yang teramat sangat asing bagiku saat itu. Namun, Diana yang mengajakku bicara pertama kali saat itu. Ada beberapa orang yang aku kenal dikelas ini, namun tak semuanya. Hanya beberapa teman sekalasku di kelas sepuluh lalu, ataupun teman satu studentdayku.
“kamu sakit apa sampe-sampe baru masuk sekarang?”
“gejala Tifus, hihi. Eh, maaf ya Di, tadi aku sok kenal gitu sama kamu, abisnya aku bingung tadi keluar mobil gag ada temen”
“tifus? Wah? Kecapean ya? Kok bisa? Lha? Santai aja.. eh? Aku panggil kamu apa?”
“Nanda, hehe. Iyaa, jadi panitia MOPD kemarin cukup bikin ngedrop badanku”
“oh kamu panitia toh? Hehe. Eh, kamukan temennya firman kan ya? Yang suka bareng sama Firman kalo pulang?”
“iyaa, hehe. Aku kenal kamu juga dari Firman sama temen-temen Musikal yang satu kelas denganmu dulu”
“oalah, hihi. Pantesan aku kayak kenal pas tadi aku ngeliat kamu. Eh, kamu sama Firman? Pacaran? Hehe”
“lho? Engga, aku sama dia temen pulang aja, temen seangkot, soalnya rumah aku sama dia deket Di “
“oh? Hihi”
“kok? Kamu bisa mikir gituh?”
“engga, abisnya kamu sama dia deket banget kalo lagi jalan berdua, hehe. Lagian juga banyak yang gosipin kamu kali”
“lho? Masa? Aku aja gag tau kabarnya, hehe. Oh, ya nanti kalo aku ada yang belum paham aku tanya kamu boleh ya? Nyatet materi yang ketinggalan kemarin, boleh ya? Hehe”
“iyaa, santai aja. Lagian juga akunya gag terlalu paham, nanti kamu juga tanya yang lain juga yah, takutnya nanti kamu kebawa sesat”
“oceeeeh”
          Ya, dari perbincangan saat itu aku mulai dekat dengan Diana. Kami selalu bersama-sama kemanapun. Absenku dan dia juga atas bawah. Diana Ratnasari dan aku, Dina Putri Ananda. Kami mulai sering cerita, belajar, dan melakukan apapun bersama-sama. Dari kedekatan kami berdua yang membawa aura postif diantara kami berdua, seorang laki-laki teman sekelasku juga ikut bersama dengan kami. Riko namanya. Ia teman sekelas Diana saat di kelas sepuluh lalu. Ia terkenal menakutkan di kelas. Bukan karna tampangnya yang menyeramkan, tapi karna omongan-omongan pedasnya yang tidak pilah pilih mencari korban. Awal-awal aku mengenalnya, tak dapat aku pungkiri rasa kesal dan seram juga sempat menaungiku saat pertama-tama awal aku mengenalnya. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai mengenalnya dengan sangat baik. Kami bertiga jadi sering belajar bareng, mengerjakan tugas bersama, dan yang lainnya. Setahun bersama di kelas, membuatku semakin mengenal kedua orang yang berteman baik denganku saat itu. Dan, saat kenaikan kelas duabelas kami satu kelas lagi. Kedekatan kami semakin bertambah akrab. Setelah penerimaan rapot kelas sebelas, kami bertiga jalan-jalan ke daerah Bandung. Pengalaman luar biasa yang pernah aku punya.
          Penerimaan rapor sudah, jalan-jalan sudah. Ya, kini kami bertiga resmi menjadi siswa kelas duabelas. Bukan waktu bermain-main lagi tentunya. Kami dituntut untuk serius. Ya, ini waktu setahun terakhir dengan seragam putih abu-abu. Masa depan siap untuk dijemput sesuai dengan usaha dan ikhtiar masing-masing dari kami disini. Tentu saja tidak lepas dari kuasa Sang Maha Penguasa, Allah SWT.
          Awal-awal duduk sebagai siswa kelas dua belas Sekolah Menengah Atas, beban memang ada, tuntutan, dan bayangan UN dan SNMPTN tak bisa dipungkiri menjadi angan masa depan yang tak bisa kami hilangkan begitu saja. Namun, itu hanya ketakutan sementara yang justru menghambat impian yang sudah kami genggam di tangan kami masing-masing. Hingga pada akhirnya, kami menikmati waktu kami sebagai predikat senior tertinggi di masa putih abu-abu. UN, SNMPTN kami yakini sebagai impian yang akan kami capai. Semester ganjil dikelas dua belas terlewati dengan baik oleh kami, para kelas dua belas seabagai aktor dan tokoh utama yang manjalaninya selama kurun waktu enam bulan. Libur semester ganjil dibarengi dengan libur akhir tahun. Perayaan tahun baru kali ini, kelasku mengadakan acara dirumah salah satu teman kami, Atika. Sebenarnya ini sekaligus menjadi acara syukuran karena ia berhasil diterima di Institut Tekhnolgi Telkom sesuai dengan apa yang ia cita-citakan.
          Hari itu tanggal 31 Desember 2010. Aku memang berencana menghadiri acara Atika dirumahnya bersama anggota kelas. Namun, izin Ayahku tersayang menghalangi rencanaku. Karena acaranya malam, Ayah mengkhawatirkan aku sebagai anak perempuan sulungnya. Sampai akhirnya Riko menelfonku diantara dilemaku pagi itu.
“assalamualaykum? Kenapa ko? “
“waalaykumsalam, hehe gagpapa.”
“jaileh, tumbenan amat nelepon? Kenapa sih?”
“kenapa ya? Kasih tau gag ya? “
“dih? Penting juga. “
“hehe, yaaah yaaah pundung deh pundung”
“he? Siapa yang pundung woooo. Kooo aku dilema nihhh, hiks”
“dilema ngape neng? Nanti ikut ke acara dirumah Atika kan?”
“naaaaah, itu diaaa yang membuat dilema”
“kenapa?”
“Ayah, tak membiarkanku pergi untuk acara malem-malem”
“jiaaahh, terus?”
“yaaa, gag tau deh”
“padahal acarnya rame kan? Eh, lagian anak-anak juga maunya kan gag tengah malem neng, mulai bakaran magrib ya isya pulanglah”
“iyaaa? Beneran?”
“kayaknya. Jadi? Jadi dateng nih?”
“um, aku konfirmasi ke ayah dulu deh”
“aku bareng kamu yaaa”
“lha? Gimana ceritanya Ko? Rumah kamu dimana aku dimana.”
“aku jemput”
“lha? Mau jemput?”
“iyaaa, biar Ayah kamu juga tenang ngelepas kamunya”
“beneran?”
“yaelah, masa iya saya bercandaaaa”
“yaudah, jam berapa?”
“abis ashar aja aku jemput”
“okeee”
“sip deh, hehe”
“eh, tapi gagpapa nih? Kalo engga aku bawa motor aja deh. Kalo gag bareng Firman atau Andi”
“santai aja neng, sekalian jalan jalan “
“yowes”
“oke deh, nanti aku kabari lagi yaa”
“sip”
“ketemu nanti yaa, wassalamualaykum”
“okeh, waalaykumsalam”
          Akhirnya Ayah mengijinkanku pergi setelah aku bilang acaranya tidak sampai tengah malam seperti perayaan tahun baru biasanya dan Riko jadi menjemputku. Ayah mempercayaiku pergi juga setelah aku bilang aku pergi dengan Riko dan memberitahunya jika Riko akan menjemput. Ayah mengenal baik Riko karena ia sering kerumah bersama Diana untuk belajar dan mengerjakan tugas bersama.
          Akupun berangkat tak lama setelah sepeda motor Riko sampai didepan rumahku. Aneh rasanya ketika aku duduk berboncengan dengan Riko saat itu. Sampai akhirnya Riko memulai perbincangan diantara kami diatas sepeda motornya.
“Din?”, suaranya terdengar berhambur diiring angin kencang yang menerpa.
“hem?”
“dieem ajaa, grogi ya tak bonceng?”
“yeee? Apa-apaan ituu”
“heheheee. Lagian diem ajaaa”
“bingung ngomong apaaa, hehe. by the way¸tumben amat koo mau jemput. Ada apa gerangan?”
“nanya lagi, kan tadi ditelpon udah aku jelasin panjang lebar”
“iya ya? Oh? Yaudah deh”
“Din?”
“hem?”
“udah kelas tiga nih, bantuin yaak”
“bantuin apaa?”
“iyaaaa, saya salah gaul deh ini kayaknya. Baru pengen main-main sekarang nih”
“yaaaa, telat amat Ko! Main boleh buat penyeling biar gag jenuh sama pelajaran yang masuk, tapi jangan kebablasan juga ya”
“naaah ituh diaaaaa, bantuin yaaa”
“bantuin apaan?”
“yaaa bantuin biar aku gag kebablasan”
“yaa, itumah dari kamunya juga Ko. Tapi, sebagai teman yang baik aku siap membantu! Assik”
“assik deh, oke thanks Din”
          Begitulah pembicaraan kami di atas sepeda motor. Tak lama Riko mengajakku untuk berjalan-jalan dahulu sebelum sampai dirumah Atika. Aku mengiyakan ajakannya. Lagipula acara Atika masih sekitar tiga jamman lagi. Riko mengajakku ke daerah Bogor untuk berkeliling dan singgah ditepi danau untuk sekedar mengobrol. Perbincangan kami begitu panjang dan berlanjut sampai perjalanan kembali menuju rumah Atika. Riko begitu hangat saat itu. Aku seperti melihat sisi lain dari Riko. Sisi positif Riko.
          Acara Atika berlangsung meriah dan ramai. Diawali dengan solat magrib berjamaah, kami melanjutkan acara kumpul bersama itu dengan bakar jagung dan ayam. Beberapa teman bertanya padaku bagaimana bisa aku berangkat bersama dengan Riko. Aku menjawab simpel dan seperti tak ada apapun diantara kami berdua layaknya yang dicurigai teman-temanku saat menanyakan hal tersebut. Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB. Aku tak sadar sebelum Riko mengingatkanku untuk pulang. Acara berkumpul bersama teman-teman membuatku lupa jam.
“mau pulang gag Din?”
“jam berapa? Waaaah setengah sembilan, ayoo deh. Eh? Kamu mau nganter lagi Ko? Rumahmu jauh lhoo. Aku bareng Andi aja yaaa. Andii aku bareng kamu bisa?”
“yaaah aku bareng Sylvia Din, maaf yaa”
“yaa, yaudah, aku naik angkot aja deh Ko”
“yeee, udah bareng aku aja. Ayahmu kan taunya kamu pergi bareng aku Din”
“nanti kamunya kejauhan Ko, gagpapa kok nanti aku jelasin sama Ayah”
“engga! Kamu pulang sama aku!”
“ha? Ya yaudah deh”
          Setelah perdebatan panjang itu akhirnya aku mengiyakan ajakkan Riko untuk yang kedua kalinya. Riko mengantarku pulang tepat didepan rumahku. Riko tak langsung beranjak menggas sepeda motornya begitu sampai rumahku, kami berdua ngobrol sbentar di teras rumah sembari menikmati secangkir teh dan beberapa kletikan bersama.  Setelah rampung pembicaraan kami, Riko pamit untuk pulang. Selang tiga puluh menit dari Riko pamit pulang, aku menelfonnya memastikannya sudah dirumah atau belum.
“ya? Assalamualaykum? Kenapa Din?”
“waalaykumsalam, Ko? Udah sampe belum?”
“udah nih, lagi rebahan abis cuci muka”
“waaah, yaudah”
“udah? Nelpon nanya gitu doang?”
“lha? Emang harus gimana?”
“ya enggaa, hehe. kalo kayak gitu mah sms aja bisa”
“hehe, lama kalo sms”
“Din?”
“apa?”
“makasih hari ini yaaa”
“lha? Kenapa makasih? Baru ya? Jalan berdua sama orang penting kayak aku?”
“yaaaaa, gagjadi”
“yaaa, hihi. Iya sama-sama. Yaudah gitu aja, istirahat sanaaa. Daaah, assalamualaykum”
“waalaykumsalam”
          Aku bergegas tidur tak lama setelah aku mengakhiri perbincangan di telfon dengan Riko.
          Setelah kejadian itu, aku dan Riko semakin akrab. Aku mulai mengenal semakin dalam sosok Riko. Dua minggu berlalu setelah pergantian tahun baru. Riko semakin hangat. Kepribadiannya didepanku berbeda. Sikapnya seakan berubah. Atau hanya aku yang merasakan?
          Riko mulai sering sms, telfon, atau sekedar mengajak ngobrol. Aku mulai tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada sosok Riko. Dibalik itu aku merasakan kenyamanan yang luar biasa dari sebelumnya ketika berada didekat Riko.
          Lalu kenapa tiap malam aku terjaga? Kenapa tiap pagi aku ingin cepat cepat bertatap? Aku rasa, mulai ada yang salah padaku kali ini.

Saat aku diterpa senja I



Aku sampai diujung waktu. Merasakan fasa berbeda antara hagatnya mentari yang akan mulai tenggelam dengan hawa dingin yang mulai menyapa kala senja di depan mata. Aku belum boleh menyerah hanya sampai disini. Walau semua memang nampak jelas, walau aku memang menjadi aktor didalamnya, tapi aku tidak bisa hanya menunggu perlahan tubuhku layu tak terpakai. Setidaknya aku masih bisa membuat beberapa orang disekitarku mengeluarkan senyum mereka. Walau tak semua yang berada disisiku mampu merasakan kehangatanku yang perlahan akan hilang. Aku bukan takut. Aku bukan risau. Aku hanya tak mau perlahan mereka meninggalkanku disaat genting aku membutuhkan mereka walau hanya sekedar senyuman sinis. Aku tahu mereka memperhatikanku setdaknya lewat itu. Harapan itu masih ada sampai sekarang. Harapan akan sepenuhnya menjadi manusia normal, aku tahu kemungkinannya tidak banyak. Namun, itulah yang memotivasiku untuk terus berkarya. Ya Rahim, zat penyayangku, maka kuatkan aku setidaknya untuk sekedar membagi kehangatan yang aku punya. Dan, aku akan bertahan untuk kalian semua. Akan tidur bahagia untuk kalian. Akan pergi untuk kalian. Akan tenggelam bersama mentari untuk kalian. Terangi harinya yang kusayang dengan lembut mentariMu, buka genggaman yang menjadi hak mereka.

Nanda           : bu, aku berangkat yaa..
Ibu               : sarapannya sudah? Bekalnya? Minumnya?
Nanda           : oh ya, minumnya lupaa..
Ayah            : gag usah buru-buru mbak
Nanda          : biologi nih gag boleh telat, udah ya berangkat.. (kemudian menyalami tangan Ayah dan Ibu) assalamualaykum.
Ayah & Ibu  : waalaykumsalam
Dengan bahagianya Nanda melaju motornya menuju sekolah kebanggaannya itu. Melewati rerumputan yang menyapanya dengan riang, menyambut langit biru yang tengah mempersiapkan mentari dibalik sisa kebekuan langit semalam.
Semangat itu masih terjaga dalam jiwanya sampai sekarang. Nanda masih periang, tak lalu terpuruk ketika masalah menyambutnya untuk air mata yang begitu berharga. Prestasi-prestasi nanda sangat luar biasa di sekolahnya. Begitu yang dirasakan teman-temannya. Nanda tak pernah mau melihat temannya terpuruk saat ia berada dijalan yang sama dengannya. Tak pernah ia mau melihat teman-temannya didera kecemasan luar biasa menjelang Ujian Nasional. Menjelang gerbang pintu masa depan.  Nanda belum mengetahui apa yang sedang menggerogoti tubuhnya dari dalam. Kedua orang tuanya masih enggan berbicara dan membahasnya.
Sampai pada akhirnya Nanda mengetahuinya sendiri krena tak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang tuanya. Bukan sengaja ia ingin menguping. Namun, itulah jalan Allah untuk menguji kedewasaannya. Meski sempat menangis terpuruk tapi ia tak mau berlarut dalam tangis itu.
Tak ada yang mengetahui apapun yang sedang bergelayut dalam tubuhnya. Meskipun seseorang yang pernah masuk dalam kehidupan dan sempat menghuni relung serta berpredikat sebagai kekasihnya sempat memancingnya untuk terbuka dengannya. Nanda hanya berkata ia dalam keadaan baik. Nanda sosok yang hangat. Perasaan tidak enak dalam jiwanya sangat amat besar. Ketakutan akan menyakiti hati orang lain menjadi kewaspadaannya. Nanda memang seorang remaja putri dengan kepribadian kompleks. Apapun yang akan ia lakukan, otaknya kan berkembang menalar apa yang akan terjadi padanya setelah itu, sehari setelah itu, sebulan setelah itu, setahun setelah itu, bahkan sepuluh tahun setelah itu. Nanda Ayu Larasati. Begitulah namanya berada di absen kelas. Hingga saat Ujian Nasional menjelang, ia tak mau membawa beban itu masuk kedalam semangatnya menuntut ilmu. Semangat belajarnya semakin luar biasa. Kota impian yang menjadi cita-citanya melanjutkan studi selanjutnya, menjadi semangat terbesar yang menggebu dalam hatinya. Kekecewaan, ketakutan, rasa minder, pernah sekali dua kali ia rasakan. Kecamuk hatipun pernah ia rasakan. Tahu apa yang dianggapnya? Mereka semua itu ingin membantuku menggores kertas dengan spidol warna, walau berwarna gelap.
Ujian Nasional berhasil. Dan setahun bersama teman-temannya dikelas tiga dilewatinya bersama sesuatu yang bergelayut itu.
apa bisa disembuhkan? Apa mungkin bisa hilang?
Nanda sadar jika ia terus-terus seperti ini, ia tak akan melewati hidupnya dengan kebahagiaan. Tanpa kenangan dan hanya terpaku oleh kata-kata andai. Itu sebabnya Allah tak suka kata-kata berandai.
Dan akhirnya berhasil menembus Universitas yang ia inginkan. Waktu itu ia merasakan kebahagiaan yang tak sempurna. Bayangannya dulu ia mampu berbagi manisnya keberhasilan dengan seseorang luar biasa yang mampu merubah hidupnya. Yah, semangatku tak shebat dulu rasanya. Biarkan. Abaikan. Bayangan yang berdiri disebelah kanan tubuhku seakan membisikkan kata-kata itu padaku. Harapku kini semoga ada waktu pengganti yang Allah beri untukku bisa bertemu lagi dengannya dan membagi kisah hidup.

PANDEMIC. Kapan selesainyaaa ?

 Hai. Salam Sehaaat. Sekarang 19 Agustus 2021. Sudah lewat 1 tahun lebih covid menyerang negara kita yang tenang nan bahagia. HAHA. Sadar ga...