Aku sampai diujung waktu.
Merasakan fasa berbeda antara hagatnya mentari yang akan mulai tenggelam dengan
hawa dingin yang mulai menyapa kala senja di depan mata. Aku belum boleh
menyerah hanya sampai disini. Walau semua memang nampak jelas, walau aku memang
menjadi aktor didalamnya, tapi aku tidak bisa hanya menunggu perlahan tubuhku
layu tak terpakai. Setidaknya aku masih bisa membuat beberapa orang disekitarku
mengeluarkan senyum mereka. Walau tak semua yang berada disisiku mampu
merasakan kehangatanku yang perlahan akan hilang. Aku bukan takut. Aku bukan
risau. Aku hanya tak mau perlahan mereka meninggalkanku disaat genting aku
membutuhkan mereka walau hanya sekedar senyuman sinis. Aku tahu mereka
memperhatikanku setdaknya lewat itu. Harapan itu masih ada sampai sekarang.
Harapan akan sepenuhnya menjadi manusia normal, aku tahu kemungkinannya tidak
banyak. Namun, itulah yang memotivasiku untuk terus berkarya. Ya Rahim, zat
penyayangku, maka kuatkan aku setidaknya untuk sekedar membagi kehangatan yang
aku punya. Dan, aku akan bertahan untuk kalian semua. Akan tidur bahagia untuk
kalian. Akan pergi untuk kalian. Akan tenggelam bersama mentari untuk kalian. Terangi
harinya yang kusayang dengan lembut mentariMu, buka genggaman yang menjadi hak
mereka.
Nanda :
bu, aku berangkat yaa..
Ibu : sarapannya sudah? Bekalnya?
Minumnya?
Nanda : oh ya, minumnya lupaa..
Ayah : gag usah buru-buru mbak
Nanda :
biologi nih gag boleh telat, udah ya berangkat.. (kemudian menyalami tangan
Ayah dan Ibu) assalamualaykum.
Ayah & Ibu : waalaykumsalam
Dengan
bahagianya Nanda melaju motornya menuju sekolah kebanggaannya itu. Melewati
rerumputan yang menyapanya dengan riang, menyambut langit biru yang tengah
mempersiapkan mentari dibalik sisa kebekuan langit semalam.
Semangat
itu masih terjaga dalam jiwanya sampai sekarang. Nanda masih periang, tak lalu
terpuruk ketika masalah menyambutnya untuk air mata yang begitu berharga.
Prestasi-prestasi nanda sangat luar biasa di sekolahnya. Begitu yang dirasakan
teman-temannya. Nanda tak pernah mau melihat temannya terpuruk saat ia berada
dijalan yang sama dengannya. Tak pernah ia mau melihat teman-temannya didera
kecemasan luar biasa menjelang Ujian Nasional. Menjelang gerbang pintu masa
depan. Nanda belum mengetahui apa yang
sedang menggerogoti tubuhnya dari dalam. Kedua orang tuanya masih enggan
berbicara dan membahasnya.
Sampai
pada akhirnya Nanda mengetahuinya sendiri krena tak sengaja mendengar
pembicaraan kedua orang tuanya. Bukan sengaja ia ingin menguping. Namun, itulah
jalan Allah untuk menguji kedewasaannya. Meski sempat menangis terpuruk tapi ia
tak mau berlarut dalam tangis itu.
Tak
ada yang mengetahui apapun yang sedang bergelayut dalam tubuhnya. Meskipun
seseorang yang pernah masuk dalam kehidupan dan sempat menghuni relung serta
berpredikat sebagai kekasihnya sempat memancingnya untuk terbuka dengannya.
Nanda hanya berkata ia dalam keadaan baik. Nanda sosok yang hangat. Perasaan
tidak enak dalam jiwanya sangat amat besar. Ketakutan akan menyakiti hati orang
lain menjadi kewaspadaannya. Nanda memang seorang remaja putri dengan
kepribadian kompleks. Apapun yang akan ia lakukan, otaknya kan berkembang
menalar apa yang akan terjadi padanya setelah itu, sehari setelah itu, sebulan
setelah itu, setahun setelah itu, bahkan sepuluh tahun setelah itu. Nanda Ayu
Larasati. Begitulah namanya berada di absen kelas. Hingga saat Ujian Nasional
menjelang, ia tak mau membawa beban itu masuk kedalam semangatnya menuntut
ilmu. Semangat belajarnya semakin luar biasa. Kota impian yang menjadi cita-citanya
melanjutkan studi selanjutnya, menjadi semangat terbesar yang menggebu dalam
hatinya. Kekecewaan, ketakutan, rasa minder, pernah sekali dua kali ia rasakan.
Kecamuk hatipun pernah ia rasakan. Tahu apa yang dianggapnya? Mereka semua itu
ingin membantuku menggores kertas dengan spidol warna, walau berwarna gelap.
Ujian
Nasional berhasil. Dan setahun bersama teman-temannya dikelas tiga dilewatinya
bersama sesuatu yang bergelayut itu.
apa bisa disembuhkan? Apa
mungkin bisa hilang?
Nanda
sadar jika ia terus-terus seperti ini, ia tak akan melewati hidupnya dengan
kebahagiaan. Tanpa kenangan dan hanya terpaku oleh kata-kata andai. Itu
sebabnya Allah tak suka kata-kata berandai.
Dan
akhirnya berhasil menembus Universitas yang ia inginkan. Waktu itu ia merasakan
kebahagiaan yang tak sempurna. Bayangannya dulu ia mampu berbagi manisnya
keberhasilan dengan seseorang luar biasa yang mampu merubah hidupnya. Yah,
semangatku tak shebat dulu rasanya. Biarkan. Abaikan. Bayangan yang berdiri
disebelah kanan tubuhku seakan membisikkan kata-kata itu padaku. Harapku kini semoga ada waktu pengganti yang Allah beri untukku bisa bertemu lagi dengannya dan membagi kisah hidup.
kerreeennnn :-) saya suka bahasanya .
ReplyDeleteterimakasih. Silakan kalau ada masukan, mohon maaf karena vakum sangat lama
Delete