Friday, July 15, 2011

Abang Yudhi


Mentari memang tampak bersinar pagi ini. Cerah dan mampu mencabik pertahanan rumput-rumput di tanah lapang. Segar. Ujian Nasional telah lewat. Hasil ujian juga telah diterima. Hari ini aku berniat mendaftarkan diriku di SMA favorit di kota Depok. Yah. Optimis. Aku telah menggenggam sederet piagam penghargaan karena prestasiku selama di SMP dulu.
          Hari pun berlalu. Aku menunggu pengumuman itu. Pengumuman menjadi siswa SMA favorit yang aku dambakan.
          Sampai tiba hari penentuan itu, aku memang hanya menunggu pengumuman dari satu sekolah itu. Keoptimisanku menguatkanku, dan akupun tak mendaftarkan diriku di SMA lain, walau untuk cadangan.
          Aku berangkat menuju SMA yang menjadi tempatku mendaftarkan diriku untuk menjadi siswa disana. Degdegan, pasti. Walau tampak yakin, dan santai. Pikiranku akan pengumuman itu yang membuat jantungku berdegub sedikit lebih cepat.
          Sampai sudah aku di SMA itu. Segerombol orang tampak berkerumun melihat satu papan yang berada didalam sekolah itu. Aku semakin penasaran.
“Pa, aku kesana ya..”, teriakku pada papa.
”iya, bismillah nak”, jawab papa santun.
          Aku kemudian bergegas menuju papan yang menjadi pusat perhatian orang banyak layaknya artis yang baru tiba. Tampak ada yang gembira setelah melihatnya, ada juga yang memasang raut wajah kecewa setelahnya. Bagaimana dengan raut wajahku nanti? Entahlah.
          Aku mengurut nama itu dari awal nama yang paling atas diikuti jariku yang membantuku mencarinya. Semakin semakin kebawah. Aku mulai waswas. Namaku belum muncul disana.
’ya Allah, bismillah..’, aku menggumam kata itu dalam hati.
Semakin jauh hampir mendekat kebawah. Namaku belum kelihatan. Atau memang tak ada? Ya Tuhan. Aku lihat papa masih bersabar menungguku disana. Raut wajah apa yang aku tunujukan ke papa nanti?
          Sampai akhirnya jari telunjukku berhenti di nama terakhir. Namaku memang tak ada. Aku berusaha mengulanginya lagi. Dari atas. Aku mengulanginya dengan perlahan dan sabar. Berharap namaku tadi tak terbaca olehku dan mungkin saja terlewat. Dan, aku samapi lagi di nama terakhir. Namaku benar-benar tak ada! Ya Tuhan. Aku kemudian datang menghampiri papa yang menungguku berharap wajah senang datang dariku.
”gimana dhi?..”, tanyanya padaku.
”um, namaku gag ada pa..”, jawabku merunduk.
”coba papa cari..”, ucap papa kemudian pergi menuju papan yang tadi aku hampiri.
’namaku tak ada pa..’. Gumamku.
          Papa tampak sabar lagi melihat papan itu dari awal nama. Menvcari namaku. Berharap ada.
”namamu, benar tak ada. Lalu gimana?”
”aku bingung,”
”mau coba datar dimana sekarang?”
”um, kita coba ke SMA lanjutan SMPku pa? Tapi..”
”sudah sudah, tak apa. Rejekimu bukan disini, ayoo kita kesana..”
          Aku hanya manut, mengikuti papa. Papa masih saja tersenyum ketika bicara denganku tadi. Aku yakin ia kecewa.
          Sampai tibalah aku di SMA lanjutan dari SMPku. Dan, pendaftarannya sudah tutup. ’ya Tuhan, dimana aku akan sekolah?’. Rasanya ingin aku menangis. Tapi aku laki-laki.
”tutup, gimana pa?”
”kau tahu sekolah yang lain?”
”tau, tapi.. yang bagus kurasa sama saja. Sudah tutup.”
”kita coba ke Sma yang di cibinong ya..”
”baiklah pa..”
          Aku dan papa menuju sekolah yang sama sekali belum aku ketahui.
          Sampailah aku di sekolah itu. Sekolah apa ini?..
Papa mengurus pendaftaranku disini. Sekolah lain sudah tutup kenapa ini masih tetap buka? Hah.
”bagus kok nak sekolahnya,”
”bagus pa?”
”iya, sudah sudah. Jalanmu memang disini mungkin.”
”maaf pa, ”
”sudah gagpapa, nanti kita kesini lagi ngukur seragam ya.. sekarang kita pulang”
”baiklah..”
          Ya Tuhan, aku tahu Papa pasti kecewa. Aku kemudian bergegas menuju rumah. Dan, aku membawa kabar buruk untuk Mama.
          Seminggu berlalu. Pengukuran seragam sudah. Tinggal menjalani hari-hari menjadi siswa Sekolah yang sama sekali tak ada bayanagnku untuk bersekolah disini. Ah.
          Dua minggu berlalu setelah MOPD. Aku telah menjadi siswa resmi sekolah ini.Sekolahku sekarang. Aku diam, tak perduli dengan oran-orang disekelilingku. Aku pikir mereka juga takut untuk dekat denganku. Kenapa aku begini? Entahlah.. aku kecewa dengan diriku dan aku tak ingin mengulang kekecewaan itu. Aku akan menjalani hidupku disini. Sendiri. Pikirku.
          Aku duduk sebangku dengan teman satu kelasku.  Pertama-tama. Dia cukup mengasyikkan. Memang sok-sok akrab. Dan semakin kesini-sini. OH My God! Dia manfaatkanku? Dia mendekatiki hanya untuk bisa mencontek saat ulangan? Cih. Betapa kesalnya aku.
          Tiba sudah dipenghujung tahun ajaran. Saatnya tes kejuruan. Ya. Aku siap kali ini!
          Tes telah berlalu tiba saatnya pengumuman. Pengumuman telah dipajang di mading depan leb IPA. Aku masuk. Walau tak sampai sepuluh besar. Tapi aku resmi menjadi siswa IPA. Alhamdulillah.
          Ternyata, tahun ini sekolahku mengadakan program kelas unggulan. Ada tesnya juga. Tentu saja tesnya bahasa Inggris. Tes itupun berlalu akhirnya. Aku masuk. Dan sekarang aku menjadi siswa kelas XI IPA UNGGULAN.  Yah cukup membanggakan. Setidaknya kelas ini sedikit lebih baik dari yang lain. Semoga saja anak-anak yang berada didalamnya juga.
          Tiba saatnya memasuki tahun ajaran baru. Kali ini aku duduk menjadi siswa kelas XI. Yah. Aku memasuki kelas baruku di XI IPA UNGGULAN. Tampaknya, orang-orang yang ada dikelas ini tampak seperti aku saat duduk dibangku kelas X. Individualis. Hanya beberapa saja yang sedikit akrab dengan yang lain. Itu juga mungkin teman kelasnya terdahulu.
          Semakin hari kesini, aku mulai mengenal setiap anak dalam kelas. Anak-anak super ternyata. Tapi aku tetap tak mau kalah! Lihat saja! Gumamku penuh semangat.
          Hari ini ada pelajaran Fisika. Ya. Materi tentang diferensial. Disini gurunya adu kecepatan ternyata.
“Ya, soal pertama..”, Pa Bahman kemudian mengucapkan soal tersebut.
“sepuluh orang pertama yang saya terima”, ucapnya lagi.
“sayaaaaaaa...”, seorang gadis teman kelasku maju.
”waduh? Gue aja beloman!”, ucapku sendiri.
“sayaa...”
“sayaaa..”
Teman yang lain mengikuti.
”gue!!!!”. teriakku.
”ya. Sudah sepuluh..”, kata-kata Pak Bahman mengurungkan niatku yang penuh semangat.
”yah, bapak...”
”soal kedua..”, ucap Pak Bahman lagi.
”tunggu pak...”, teriak anak kelas.
”ya, sembilan orang pertama yang saya terima..”, ucap Pak Bahman setelah membacakan soal kedua.
          Selang beberapa detik, suara gadis terdengar teriak.
”Saya Pak..”, teriaknya penuh semangat.
”ya, jawabannya betul!”, ucap Pak Bahman.
”Yes. Alhamdulillah.”, ucapnya penuh senyum.
”waduh, cepet amat itu anak!!”, ucapku keheranan.
”Saya- Pak saya..”, teriakku.
”ya? Salah..”, tegas Pak Bahman”
”Salah? Oh?”, aku mengguman sembari melihat kerjaanku.
”Ya, sembilan!”, tegas Pak Bahman pertanda sembilan buku dengan jawaban benar telah terkumpul.
”Ah, Bego! Dua kali empat kenapa enam!! Ahhhh..”, tegasku kemudian diikut tertawa kecil teman kelasku.
”soal keempat..”,
”sayaaaaa Pak!”, teriak gadis itu lagi.
”ya, Betul!”
”Soal kelima..”
”Sayaaa Pak!”
”Yaa..”
”Buset itu anak! Gue baru mulai ngitung! Udahan mulu!!”, gumamku.
          Begitulah seterusnya sampai 1 orang pertama yang diterima Pak Bahman. Tetap gadis itu! Aih, tampaknya aku harus lebih banyak latihan.
”Ayoo va pulang..”, teriak seorang teman laki-lakiku dodi.
”ayoo!”, tegas gadis itu..
”pinter banget sihh!!”, tegas Dodi sembari menarik lengan gadis itu.
”apa sih? Haha ayoo pulang”, ucap gadis itu.
          Siapa dia? Kenapa berhitungnya cepat sekali? Ah. Dia? Padahalkan dia baru saja sakit. Masuknya saja seminggu kemudian setelah KBM berlangsung.
          Sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu. Aku mulai mengenal setiap anak kelas ini. Mengasyikkan ternyata. Aku nyaman berada ditengah kelas ini. Alhamdulillah.
          Gadis yang sangat cepat berhitung itu hebat memang. Namun, tampaknya ia sering sekali menangis ya? Merubahnya! Itu kata-kata yang ada dipikiranku tentang gadis itu.
          Hari itu ia tengah duduk dibangku kedua dari belakang. Ia sedang bersandar disna. Banyak yang ada dipikirannya tampaknya.
”oy va..”, gumamku padanya.
”ho? Apa?”, tanyanya dengan nada tak ada gairah.
”lo tuh.. lo pengen nangis kan? Tapi lo sok-sokan ketawa didepan anak-anak.. iya kan? Mata lo gag bisa bohong va! Lo itu nangis kan sebenarnya?”, tanyaku.
“apa? Apaan sih lo yud?!!”, ia menengok dengan nada agak kesal dan mata yang mulai berlinang air mata.
“iya kan?”, tanyaku lagi.
          Ia tak menjawab, ia mengambil saputangan di kolong meja yang aku tempati. Aku memang duduk dibangkunya. Ia mengambil saputangannya dan kemudian keluar kelas. Aku rasa dia ke kamar mandi. Matanya tampak berlinang dan akan menjatuhkan air mata saat aku melihatnya tadi. Apa aku salah?
          Setelah kejadian itu Eva  nampaknya mulai agak kesal denganku. Ia mulai tak memperdulikanku. Hah. Perlukah aku minta maaf? Aku memang tak pernah mengucap kata maaf padanya setelah kejadian itu. Tak hanya Eva korbanku. Nampaknya mulai banyak yang menjaga jarak dariku. Ucapanku mungkin. Benarkah? Aku tak bermaksud seperti itu. Ah. Salahkah caraku?
          Anak-anak kelas ini memang satu sama lain super dan memiliki kehebatan masing-masing. Tapi aku lihat mereka tampak mempunyai masalah masing-masing. Ada yang berusaha menahannya sendiri. Padahal, sudah keliatan ia tak kuat membawanya! Ada yang sok-sok cari perhatian. Dibilangin sebentar, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kesal juga ngebilanginnya.
          Aku memang termasuk yang dituakan disini. Itu karena tahun lahirku lebih dulu dibanding yang lain. Apa yang mereka pikir tentang aku ya? Entahlah. Kekesalan, sakit hati mungkin. Omongan-omongan pedasku. Tapi, sungguh aku tak pernah berniat begitu. Yah, mungkin memang aku salah cara atau strategi atau bahakan mereka yang salah tanggep? Ah. Rumit.
          Aku punya teman-teman dekat disini. Laki-laki tentunya. Teman seprofesiku. Lho? Ya. Kami sering membuat banyolan-banyolan lucu dikelas. Pelawak dikelas sendiri.
          Hari demi hari, bulan demi bulan, berlalu dengan sangat cepat. Tanpa terasa. Semua itu bergulir layaknya bola yang menggelinding di bidang miring yang licin. Express. Tiba kini aku duduk menjadi siswa kelas XII. Tanggung jawabnya tentu lebih besar. Ujian Nasional, SNMPTN, dan yang lain lagi dengan tuntutan tanggung jawab disana.
          Hari haripun berlalu, aku menikmati profesiku sebagai siswa kelas XII. Tapi aku salah jalan! Kenapa? Terang saja. Aku baru menikmati indahnya masa SMA dikelas XII ini. Telat! Kenapa tidak sejak kelas X atau XI kemarin? Dua tahun yang lalu aku malah duduk sebagai murid yang diam, baik, dan rajin. Kenapa dikelas XII ini aku baru mulai males-malesan? Aih.
          Kelas XII. Apa yang aku rasakan disini? Kelas sama. Tak ada yang berubah. Teman? Itu lagi itu lagi. Cinta? Haha. Seorang cowok yang labil dan tidak mengerti seperti aku tampaknya akan sulit menggapai itu. Terlebih aku jarang, sulit, dan tidak pernah merasakan indahnya itu.
          Hari-hari santai mulai mendekati masal limitnya. Tiba saatnya mulai fokus. Try Out, UAS, dan UN telah menanti dipenghujung tahun. Memaksaku menyingkirkan sebentar kemalasanku dan berusaha serta berjuang untuk diriku sendiri. Untung ada adikku! Adik? Ya. Dia teman kelasku. Eva. Wanita yang memiliki tingkat pemikiran dan perasaan yang kompleks. Susah untuk menebak apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Eva? Kenapa dia? Anak didikku. Itulah sebutanku untuk teman kelasku yang ini. Dia yang paling sering menjadi korbanku. Korban omongan pedasku. Bayangkan saja sudah berapa kali ia menangis atau bahakan sakit hati? Tapi dia masih tetap saja begitu. Mendekati hari sibuk, kami sering belajar bersama. Mengambil waktu di jam pulang sekolah. Kami saling membantu. Dia memanggilku abang. Sudah berapa kali kuucapkan aku tak pantas menjadi abangnya. Tapi ia selalu saja mengatakan ’kau abangku. Seburuk apapun kau, kau tetap abang yang sangat aku sayang!’. Siapa yang tidak terharu dikatakan seperti itu? Padahal aku yakin sudah berapa sering aku membuatnya sakit hati.
          Try Out berlalu. Kini tiba saatnya UAS. Nilai yang ikut andil dalam ijazah nanti. Eva tampaknya sedang disenda rasa galau. Karena apa itu? Entahlah. Ia tertutup. Yah, hanya beberapa hal saja yang mau ia ceritakan. Selebihnya, ia lebih suka memendamnya sndiri. Tapi lihat, ia masih bisa tersenyum. Bahkan tertawa. Hebat ya? Adikku.
”gimana bang? Lancar dengan Math?”, ia bertanya dengan senyum mengambang.
”hah? Susah..”, balasku.
”ha, abang pasti bisa! Yudhistira... masa gag bisa”, balasnya lagi.
          Ia terus saja bercap demikian. Selalu saja berhusnudzan padaku. Padahal, sudah tak terhitung berapa kali aku mengecewakannya.
          Tiba saatnya Ujian Nasional. Degdegan pasti ada walau sedikit yang terasa. Aku berjuang. Oh ya, aku bertaruh dengan adikku. Pemilik nilai yang kecil mentraktir pemilik nilai yang tinggi. Oh, itu sebenarnya caranya dalam membuatku menjadi bangkit, berusaha, dan bersemangat. Dasar adik.
          Hari pertama Ujian Nasional. Sekolah meminta anak muridnya para peserta UN untuk datang sedikit lebih pagi dari jam mulai. Ah, kurasa aku sudah bisa menebak. Pasti ada main-mainnya.
          Apa kubilang. Sesampainya disekolah semua sibuk dengan kunci yang sedang mereka catat atau mereka hafalkan. Tidak. Aku tak mau memakainya. Nampaknya Eva juga tidak. Memegangpun ia tak mau.
”pake va?”, tanyaku.
Dia hanya menggeleng.
”astaghfirullahhaladzim..”, ucapnya.
”baru SMA nih va, baru SMA..”, tegasku padanya.
”gag nyangka bang..”, balasnya.
”lagian ngapain make, Bahasa indonesia lagi! Ngebohongin yang di atas, ngebohongin diri sendiri juga..”, ucapku.
”iya betul!”, balasnya lagi.
”salaman dulu dong kita..”, ajakku meminta tangannya.
          Kamipun bersalaman. Semoga saja bisa bersih sampai Ujian rampung terlaksana.
          Ujian Nasional berlalu cepat. Nampaknya aku tak bersih sutuhnya. Aku berusaha, tapi masih memgang kunci dosa itu. Ah. Tidak konsisten.
”gimana va? Lancar fisika?”, tanyaku.
“alhamdulillah, bersih sampai hari ini”, balasnya dengan lemparan senyum.
“pasti nanti kamu bangga ya?”, tanyaku.
”insayaallah, amin. Abang gimana? Lancar? Lancar pasti. Abang gitu..”, jawabnya lagi.
”ah, udah napa va. Jangan gitu lagi..”, tegasku.
”lho? Kenapa? Kan dihusnudzanin. Gimana sih. Di do’ain lho”, jawabnya.
”oh? Iya ya? Amin amin..”, jawabku dengan dada mengambang menahan senyum.
          Ujian berlalu. Tinggallah hari-hari menegangkan. Menunggu pengumuman. Semoga semuanya dapat yang mereka inginkan.
          Tour ke Jogja berlalu dengan kenangan indah. Menggores ingatan dalam pikiran yang tak mungkin mudah terhapus oleh setiap kejadian yang alami. Itu tetap menjadi sesuatu yang menyenagkan, membanggakan, dan mengharukan tentu. Perpisahan juga berlalu. Acara resmi sekolah dengan mengenakan pakaian resmi. 
          Tiba saatnya kini pengumuman. Penantian yang akan berkahir. Dijawab oleh surat dalam amplop yang akan aku terima dengan namaku di bagian depan amplop tersebut. Dan.. Aku LULUS! Wohh, semua bersorak girang. Tak sedikit air mata yang tumpah. Semua larut dalam bahagia. Senangnya melihat itu semua.
          Dan yang tak kalah menegangkan adalah pengumuman Perguruan Tinggi. Aku diterima menjadi mahasiswa Teknik arsitektur UI tahun ajaran 2011/2012. ah. Betapa bangganya aku. Hasil nilaiku menembus batasan yang diberikan pihak penyelenggara. Eva, bagaimana ia ya?
”va? Gimana? Gimana?”, tanyaku penuh semangat.
“abang..”, panggilnya dengan nada lemas. Ah, apa ini kabar buruk untuknya?
”kenapa? Kamu gimana? Ke Jogja kan?”, tanyaku penuh harap.
”abang, aku.. aku.. Aku diterima jadi Mahasiswi Fakultas  MIPA jurusan matematika UGM bang!”, ia berteriak bangga dengan sedikit tetesan air mata dipipinya.
”alhamdulillah, abang juga va.. abang juga diterima, sekarang abang jadi anak UI! Anak UI va!”, jawabku dengan senyum bangga.
          Percakapan penuh haru dan senang tentunya. Aku berhasil menjadi mahasiswa Universitas Indonesia sekarang. Evapun berhasil mejadi mahasiswi Universitas Gajah mada sekarang. Adik terbaikku.
          Sebelum keberangkatannya ke Jogja, kami menyempatkan untuk berjalan-jalan bersama. Dan aku menebus hutangku dengan membelikan ice cream yang dulu tertunda. Manisnya Ice cream itu terasa sangat menggigit. Ditemani kebahagiaan yang kami punya masing-masing.
”subhanallah, indah ya bang!”, ucapnya.
”apanya va yang indah?”, tanyaku.
”semuanya, dan senyum abang tentunya!!”
”ah? Kamu juga! Ciyeee, anak UGM..”
”abang juga! Ciyee anak UI. Wah, abangku anak UI.. hebat ya aku..”, tegasnya dengan senyum lebar.
”adik abang juga, anak UGM.. Wohh,”
”makasih ya abang..”
”untuk apa?”
”semuanya.. Ingat aku adikmu”
”sama-samalah, pasti adik..”
”rindu pasti ya.. kenalkan aku cewemu nanti ya! Awas aja backstreet dari aku!”
”haha, kamu juga ya..”
          Percakapan itu berujung pada perpisahan penuh bahagia. Aku berhasil. Berhasil. Ah, aku berhasil tidak mengulang kekecewaan itu. Selamat jalan adik. Gapai impianmu disana ya Bu Dosen. Dan aku akan jadi arsitek ternama disini. Alhamdulillah. Terimaksih ya Allah.. :”)


No comments:

Post a Comment

PANDEMIC. Kapan selesainyaaa ?

 Hai. Salam Sehaaat. Sekarang 19 Agustus 2021. Sudah lewat 1 tahun lebih covid menyerang negara kita yang tenang nan bahagia. HAHA. Sadar ga...